Friday 22 May 2015

Semangat Cinta Sumarsih Bangkitkan Kembali Perjuangan Anaknya



Bertepatan dengan 17 tahun penggulingan masa jabatan Soeharto, ribuan massa melakukan demo di depan Istana Negara. Menggunakan almamaternya, mahasiswa dari berbagai universitas itu menuntut kinerja Presiden Jokowi yang dinilai belum sesuai harapan itu.

Namun di tengah mahasiswa beralmamater itu, ada sekelompok orang yang didominasi ibu-ibu dan bapak-bapak berbaju hitam dengan memegang payung hitam. Sejak pukul 16.00 WIB, mereka berdiri di depan Istana Negara. Seperti tak kenal takut, mereka tetap berdiri di sana meskipun ada unjuk rasa.

Ternyata Kamis kemarin merupakan hari Kamis ke-396 mereka berdiri dalam diam menunggu empati negara sejak aksi pertama digelar pada 18 Januari 2007. “Ini adalah hari Kamis ke-396 kali saya dan kawan-kawan berdiri. Tak masalah ada unjuk rasa sekalipun. Sekarang sudah masuk tahun ke sembilan, kami tak akan berhenti. Siapa tau mereka bisa tergerak dan bahkan menyuarakan aksi kami di tempat lain,” ungkap Maria Katarina Sumarsih (65), wanita berambut putih yang saat itu berada di tengah-tengah Aksi Kamisan.

Sumarsih, begitu biasa ia dipanggil adalah motor perjuangan para korban pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di masa lalu. Mewakili anaknya yang menjadi korban penembakan Tragedi Semanggi 1, Bernardus Realino Norma Irmawan, ia tak kenal lelah memperjuangkan kebenaran dan keadilan terhadap anak dan korban lainnya. Tak masalah baginya menempuh perjalanan yang cukup jauh dari daerah Meruya Jakarta Barat ke Istana Negara demi melakukan Aksi Kamisan itu.

Bersama para korban dan keluarga korban pelanggaran HAM dari tragedi 65, Tragedi Mei 98, hingga kasus Trisakti- Semanggi I dan II, mereka tidak berorasi, tidak pula melakukan aksi teatrikal layaknya peserta unjuk rasa lainnya.

“Ini merupakan cara saya dan teman-teman korban lain untuk bertahan dalam memperjuangkan penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM yang hingga saat ini belum menemukan titik terang,” ungkapnya.

13 November 1998 menjadi hari kelabu bagi dirinya. Wawan yang saat itu sedang ikut aksi Menolak Sidang Istimewa MPR ditembak di halaman kampusnya Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta dengan peluru tajam standar ABRI. Padahal saat itu ia sedang menolong korban yang ditembak kakinya. Karena sosoknya yang bersahaja dan memiliki jiwa sosial yang tinggi, hal itu membuat hati Sumarsih tergerak untuk melanjutkan perjuangannya.

“Menjadi orang tua Wawan membuat saya bangga terhadap apa yang dilakukannya semasa hidupnya. Sebagai orang tua, saya berniat melanjutkan perjuangan Wawan demi mewujudkan agenda reformasi ketiga, yakni penegakan supermasi hukum,” kata Sumarsih.

Sebagai gambaran perkembangan kasus, April lalu Jokowi sudah membuat Tim Gabungan Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM yang terdiri dari Menkopolhukam, Kejagung, POLRI, Mabes TNI, dan Komnas HAM. Keluarga korban yang saat ini masih memperjuangkan keadilan sempat dibuat berkelit mengenai teknik penyelesaian kasus tersebut.

Menurutnya Sumarsih, penyelesaian kasus tersebut tidaklah rumit. Asal ada niat,  keberanian, dan kejujuran, kebenaran bisa terungkap. Namun, jika ketiganya tidak dilakukan, maka apa yang dilakukan korban tidak akan terwujud. “Di sini kami akan tetap dan selalu berjuang mencari kebenaran, keadilan, dan juga melawan impunitas, yakni situasi dimana kejahatan maupun pelaku kejahatan dibiarkan bebas tanpa pertanggungjawaban atau hukuman,” kata Sumarsih.

Peristiwa Semanggi yang merenggut nyawa putranya itu pun telah mengubah hidupnya secara drastis, dari seorang pegawai negeri yang tidak pernah bersentuhan dengan dunia politik menjadi seorang aktivis hak asasi manusia. Kini saat sudah pensiun dari pekerjaannya, Sumarsih tak pernah berhenti menyelesaikan segala kasus. Ada saja pekerjaan yang dilakukannya. Tak hanya kasus yang menimpa anaknya, melainkan juga kasus pelanggaran HAM lainnya.

“Beberapa kali, saya sudah membuat tulisan mengenai pelanggaran HAM. Mahasisawa pun juga pernah mendatangi saya sebagai narasumber mereka dalam skripsinya,” katanya.

Saat ditanya sampai kapan Aksi Kamisan itu akan dilakukan, Sumarsih tersenyum. Meski sempat ada kesepakatan akan berakhir sampai hanya tiga orang yang berdiri di depan Istana, namun sampai sekarang aksi tersebut masih saja berlangsung karena jumlahnya yang tidak pernah kurang dari lima orang.

“Aksi ini akan berhenti bila Presiden membuat pengadilan HAM Ad-Hoc sehingga bisa mengadili kasus-kasus pelanggaran HAM seperti Tragedi 1965/1966, kasus Tanjung Priok 1984, kasus Talangsari 1989, kasus Trisakti 1998, kasus Semanggi I dan II 1988-1999, dan kasus pembunuhan Munir 2004,” ungkap Sumarsih.

Kini SBY sudah tidak lagi menjabat sebagai presiden. Kedudukannya telah digantikan dengan Presiden Joko Widodo yang telah dilantik sebagai pemimpin baru di negeri ini. Sumarsih pun sangat berharap pada  Presiden baru agar bisa segera menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM yang hingga saat ini masih menjadi utang negara. Ia berharap agar nawacita yang dikampanyekan Jokowi bukan malah menjadi duka cita.

“Komitmen Jokowi-JK untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM pada masa lalu dan menghapus semua bentuk impunitas tertuang dalam dua butir, yakni butir ff dan gg. Untuk itu, saya meminta adanya proses pembentukan pengadilan HAM Ad-Hoc untuk mengadili kasus-kasus pelanggaran HAM yang belum terselesaikan hingga saat ini. Selain itu, Jaksa Agung yang baik juga perlu merekomendasikan kepada Presiden untuk menerbitkan Keppres pembentukan Pengadilan HAM Ad-Hoc,” katanya.

Dengan semangat cinta lah, Sumarsih tetap bersemangat melanjutkan perjuangan Wawan dan kawan-kawannya yang belum selesai.

“Meski anak-anak dan saudara kami telah meninggal, tragedi itu memiliki makna. Bermakna sebagai penegak hukum yang termuat di agenda reformasi ketiga yang diusung mahasiswa pada tahun 1998. Ini yang sedang kami perjuangkan,” katanya.



Dimuat di MajalahKartini.co.id
LINK : http://majalahkartini.co.id/berita/peristiwa/teriakan-keluarga-korban-pelanggaran-ham-dalam-aksi-kamisan?page=1

No comments:

Post a Comment