Saturday 11 April 2015

Mengenal Lebih Dekat Azriana, Ketua Komnas Perempuan Periode 2015-2019



Pada 7 April 2015 lalu, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) resmi memiliki sejumlah pengurus baru. Melalui Sidang Komisi Paripurna VI, terpilih tiga orang pimpinan Komnas Perempuan periode 2015-2019, yakni Azriana sebagai Ketua, dan dua Wakil Ketua, yakni Yuniyanti Chuzaifah dan Budi Wahyuni.

Azriana terpilih sebagai Ketua Definitif Komnas Perempuan periode 2015-2019 menggantikan ketua sementara Budi Wahyuni.  Perempuan yang lahir pada 7 Maret 1968 ini juga menggantikan posisi Yuniyanti Chuzaifah yang sebelumnya menjadi Ketua Komnas Perempuan.

Dalam perjalanan kariernya, Azriana menyelesaikan studi S1 nya di Fakultas Hukum, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh. Sebelum menjabat sebagai ketua,  Azriana sudah banyak menangani kasus yang sebagian besar berbicara soal perempuan. Sejak 1995, ia mengawali karier advokatnya di LBH Iskandar Muda Lhoksumawe. Kariernya pun berlanjut sebagai Koordinator Wilayah Timur Relawan Perempuan untuk Kemanusiaan (2002–2009, Komisioner Komnas Perempuan (2007–2009), dan Sekretaris Jenderal Relawan Perempuan untuk Kemanusiaan (2010–2014).

Menjabat sebagai Ketua dari konstitusi paling besar ini merupakan pengalaman pertama baginya. Tentu tidak mudah untuk menanggung tanggung jawab sebesar itu. Namun bersama dengan komisioner lain, Azriana optimis bisa mengemban amanah ini.

“Tentu ini adalah hal yang tidak mudah. Namun bersama teamwork yang sudah terbentuk, saya yakin bisa optimal dalam menjalankan berbagai agenda Komnas sampai empat tahun ke depan,” ungkapnya.

Bagi Azriana, satu hal yang menjadi kelemahan dalam mengurus segala macam aduan adalah kurangnya perangkat hukum untuk melindungi hak-hak perempuan dan juga kekerasan. Terkadang, banyak peraturan tidak berjalan karena tidak ada peraturan turunannya.

Contohnya saja kekerasan seksual di luar rumah tangga. Hukum yang mengatur hanyalah KUHP. Di situ hanya dikenal tiga bentuk kekerasan seksual. Dan bahkan hanya dua yang disebutkan secara tegas, yakni perkosaan dan pencabulan. Jadinya, hanya itu pegangan bagi semua aparat kepolisian untuk melakukan penyidikan terhadap kasus kekerasan.

“Dengan aturan yang minim, banyak kasus yang tidak bisa diproses hukum karena kasus tersebut tidak dikenal dalam undang-undang. Akhirnya pada saat korban sudah mengadukan, kasus itu tidak bisa diproses. Ini tentu membuat banyak korban kekerasan yang tidak mau mengungkapkan kasusnya, hingga banyaknya kasus yang tersembunyi,” ungkap Azriana.

Dalam kepengurusannya, PR utama yang harus dicapai adalah pengesahan Undang-Undang Kekerasan Seksual. Selain itu, PR lain yang harus dilakukan adalah membuat mekanisme pemulihan korban kekerasan, bahkan kekerasan dalam konflik.

Menurutnya, wanita bisa sejahtera kalau hak sebagai manusianya sudah terpenuhi, termasuk juga ruang haknya tidak terbatasi dan bisa terhindar dari kekerasan.

“Sekarang kita tahu, perempuan sering cemas dalam berpergian karena angkakejahatan yang tinggi. Pelecehan seksual di kendaraan umum, bahkan perkosaan. Perempuan bisa dikatakan sejahtera kalau tidak ada lagi kecemasan bagi mereka jika pergi kemanapun,” kata Azriana.

Ia pun sangat mengharapkan agar semua perempuan di Indonesia bisa bersatu padu mendorong negara agar bisa melahirkan kebijakan yang bisa melindungi hak perempuan. Dengan begitu, pemerintah bisa meninjau kembali sejumlah kebijakan yang membuat kaum perempuan terdiskriminasi.



Dimuat di MajalahKartini.co.id
LINK : http://majalahkartini.co.id/inspiratif/profil/azriana-aktivis-hukum-asal-aceh-nakhoda-baru-komnas-perempuan

No comments:

Post a Comment